Jumat, 04 Oktober 2019

Proses kreatif sastra

Nama : Rizqotus Sa'diyah
Nim : 17188201034
Matkul : psikologi sastra
Dosen pengampu : M. Bayu Firmansyah, S.S, M.Pd

Proses kreatif sastra
Proses kreatif merupakan sebuah proses yang dilalui seorang pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra. Seorang pengarang tidak akan bisa membuat karya sastra seperti puisi atau prosa tanpa melalui tahapan proses. Penciptaanya seperti pengumpulan ide, pengembangan ide, dan penyempurnaan ide (Eneste, 1982: iv). Kata proses dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008: 1106) berarti rangkaian tindakan atau tahapan dalam menghasilkan sebuah produk. Kata kreatif dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008: 739) berarti memiliki daya cipta; memliki kemampuan untuk mencipta. Dalam KBBI (2008: 299) kata daya berarti kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak. Sedangkan cipta berarti kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru. Daya cipta berarti kemampuan untuk bertindak dalam menghasilkan sesuatu yang baru. Dapat disimpulkan bahwa proses kreatif adalah rangkaian perbuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk yang baru. Wellek dan Werren (dalam Siswanto, 2008: 25) mengungkapkan bahwa proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang.
Ada beberapa golongan keadaan jiwa yang dapat mendorong lahirnya proses kreatif sastrawan, yaitu (1) jiwa sedang iba (terenyuh), yaitu keadaan psikis sastrawan merasa kasihan terhadap sebuah fenomena. Manakalah sastrawan menyaksikan kejadian yang menyayat hati, menyentuh rasa, mungkin akan segera lahir proses kreatif yang dalam; (2) jiwa sastrawan sedang geram, artinya dalam keadaan marah, tidak menentu. Suasana semacam ini mungkin muncul kemarahan dalam karyanya. Proses kreatif yang akan hadir adalah bahasa-bahasa kasar, akan hadir dalam karyanya. Keadaan psikis ini akan mempercepat pula proses terjadinyakarya sastra; (3) jiwa merasa kagum, artinya ada rasa heran, penuh tanda tanya, ada rasa keagungan. Pada suasana semacam ini, sastrawan hendak menyampaikan syukur, pantulan imajinatif ke arah profetif dan sejenisnya. Ketika suasana kejiwaan demikian akan menjadi sebuah inspirasi kritis bagi sastrawan. Inspirasi adalah daya dorong kuat psikis yang mengharuskan sastrawan berekspresi.
Gaya psikologis pengarang berbeda-beda. Semua karya akan membentuk tradisi khas. Ada pengarang yang membutuhkan ketenangan dan kesunyian, tetapi akan yang menulis di tengah keluarga atau keramaian sebuah cafe. Ada juga perilaku sensational, seperti menulis pada malam hari dan tidur pada siang hari.
Tahap-tahap dalam proses pemikiran kreatif, ada tiga diantaranya. Tahap pertama (persiapan) ialah tahap pengumpulan informasi dan data yang dibutuhkan, pengalaman-pengalaman yang mempersiapkan seseorang untuk melakukan tugas atau memecahkan masalah tertentu. Tahap kedua dari proses kreatif ialah tahap Iluminasi. Pada tahap iluminasi semua menjadi jelas (terang), tujuan tercapai, penulisan naskah dapat diselesaikan. Tahap ketiga ialah tahap verifikasi tinjauan secara kritis. Tujuan dari verifikasi ialah  menghasilkan suatu naskah yang siap untuk dikomunikasikan.

Rabu, 18 September 2019

Psikologi karya sastra

Nama: Rizqotus sa'diyah
Nim: 17188201034
Prodi: PBSI 2017 A
Dosen pengampu: M.Bayu firmansyah, S.S, M.Pd

PSIKOLOGI KARYA SASTRA
Dengan memfokuskan pada karya sastra, terutama fakta cerita dalam sebuah fiksi atau drama, psikologi karya sastra mengkaji tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Untuk melakukan kajian ini, ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi, kemudian diadakan analisis terhadap karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis karya sastra (Ratna, 2004:344). Kalau cara pertama yang dipilih, maka karya sastra cenderung ditempatkan sebagai gejala sekunder, karena karya sastra dianggap sebagai gejala yang pasif atau semata-mata sebagai objek untuk mengaplikasikan teori. Kalau cara kedua yang dipilih, maka kita menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis. Karya sastralah yang menentukan teori, bukan sebaliknya. Untuk menentukan teori psikologi yang relevan untuk karya sastra tertentu, pada dasarnya sudah terjadi dialog, yang melaluinya akan terungkap berbagai problematika yang terkandung dalam objek (Ratna, 2004:344).
Apabila kita memilih cara yang pertama, maka sebelum membaca karya sastra, misalnya kita sudah menentukan akan menganalisis penyimpangan kejiwaan tokoh yang terdapat dalam karya sastra. Dengan bekal teori psikologi abnormal, dicarilah karya sastra yang di dalamnya menceritakan tokoh yang mengalami kasus penyimpangan kejiwaan. Setelah menemukan karya sastra yang dicari, misalnya cerpen “Durian” karya Djenar Maesa Ayu (2002:19-30), kita akan menganalisis bagaimana dan mengapa tokoh Hyza dalam cerpen tersebut mengalami gangguan kejiwaan sehingga harus menjadi pasien seorang psikiater. Cara kedua ini pernah dilakukan oleh M.S. Hutagalung (1968) ketika menganalisis novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Pada karya Hutagalung, kajian psikologi merupakan salah satu dari kajian lainnya yang dipakai, yaitu latar belakang pengarang dan karyanya, struktur naratif, gaya bercerita, sosiologi, dan filsafat eksistensialisme. Kajian tersebut terdapat dalam buku berjudul Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis(Gunung Agung, 1963). Buku tersebut, awalnya merupakan skripsi untuk mencapai tingkat Sarjana Muda kesusastraan modern di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Kamis, 12 September 2019

Psikologi sastra

Nama: rizqotus sa'diyah
Nim: 17188201034
Dosen: M.bayu firmasyah.S,S.M,Pd

Psikologi pengarang


  • pengarang merupakan salah satu wilayah psikologi kesenian yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi (Wellek & Warren, 1990:90). Dalam kajian ini yang menjadi fokus adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra. Seperti dikemukakan oleh Hardjana (1984:62) kajian yang berhubungan dengan “keadaan jiwa” sebagai sumber penciptaan puisi yang baik telah dikemukakan oleh Wordsworth, seorang penyair romantik Inggris pada awal abad sembilan belas. Wordsworth menjelaskan bahwa “keadaan jiwa” dengan psikologi khususnya, akan melahirkan pengungkapan bahasa puisi yang khusus pula. Pendirian Wordsworth mengenai proses penciptaan puisi yang dikatakannya sebagai pengungkapan alamiah dari perasaan-perasaan yang meluap-luap, dari getaran hati yang berkembang dalam kesyahduan, juga menunjukkan adanya hubungan antara aspek psikologi dalam proses penciptaan puisi (Hardjana, 1984:62). 

Karena memfokuskan kajiannya pada aspek kejiwaan pengarang selaku pencipta karya sastra, psikologi pengarang memiliki hubungan dengan pendekatan eskpresif. Seperti dikemukakan oleh Abrams (1981) pendekatan ekspresif memandang dan mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. Dalam hal ini pendekatan ekspresif memiliki fokus kajian dan cara yang mirip dalam mengkaji keberadaan pengarang selalu pencipta karya sastra. Walaupun demikian, kalau dicermati lebih lanjut, pendekatan ekspresif memiliki wilayah kajian yang lebih luas karena tidak hanya terbatas pada aspek kejiwaan pengarang, tetapi juga latar belakang sosial budaya tempat pengarang dilahirkan dan berkarya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa psikologi pengarang, sebenarnya merupakan salah satu wilayah kajian dalam pendekatan ekspresif. Oleh karena itu, untuk memisahkan keduanya pada kasus-kasus pengarang dan karya tertentu sering kali tidak memungkinkan.

Rabu, 15 Mei 2019

Resume pragmatik

RESUME PRAGMATIK
WACANA dan BUDAYA




DOSEN PENGAMPU : M.Bayu Firmansyah, M.Pd

DISUSUN OLEH :
NAMA : RIZQOTUS SA'DIYAH
PRODI : PBSI 2017 A
NIM : 17188201034

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI) PASURUAN
JL. KI HAJAR DEWANTARA No. 27-29
PASURUAN
Telp: (0343) 421946  Fax: (0343) 411036
Website:http://www.stkippgri-pasuruan.ac.id
Bab 9
Wacana dan budaya
Analisis wacana mencakup rentangan aktivitas-aktivitas yang sangat luas, dari penelitian yang terfokus secara sempit tentang bagaimana kata-kata yang digunakan dalam percakapan umum, sampai pada studi tentang ideologi yang dominan dalam suatu budaya, misalnya seperti yang digambarkan dalam praktik politik dan pendidikan. Jika analisis ini dibatasi pada pokok-pokok persoalan linguistik, maka analisis wacana memfokuskan pada catatan prosesnya (lisan atau tertulis) dimana bahasa itu digunakan dalam konteks-konteks untuk menyatakan keinginan.
Koherensi, secara umum apa yang ada dalam benak pemakaian bahasa sebagian besar adalah suatu asumsi koherensi, yaitu apa yang dikatakan atau dituliskan mengandung arti sesuai dengan pengalaman normal mereka. Pengalaman itu akan diartikan secara lokal oleh masing-masing individu dan karena itu pengalaman akan terikat dengan keakraban dan harapan.
Pengetahuan latar belakang, kemampuan kita untuk sampai pada penafsiran yang otomatis terhadap sesuatu yang tidak tertulis dan tidak terucapkan harus berdasar pada struktur pengetahuan awal yang ada. Struktur ini berfungsi seperti pola-pola akrab dari pengalaman-pengalaman baru. Istilah yang paling umum untuk pola jenis ini ialah skema. Skema ialah struktur pengetahuan sebelumnya yang ada dalam ingatan.
Skemata budaya, setiap orang pasti memiliki pengalaman yang mengejutkan apabila sebagian dari komponen peristiwa yang diasumsikan itu hilang tak terduga.
Pragmatik lintas budaya, studi perbedaan-perbedaan harapan berdasarkan skemata budaya merupakan bagian dari ruang lingkup yang luas yang umumnya dikenal sebagai pragmatik lintas budaya. Untuk melihat bagaimana cara penutur menyusun makna berdasar budaya yang berbeda sesungguhnya memerlukan penilaian kembali secara lengkap dari segala sesuatu yang sebenarnya sudah kita pertimbangkan sampai disini dalam survei ini.

Rabu, 08 Mei 2019

Resume pragmatik

RESUME
PRAGMATIK



Tentang:
STRUKTUR PERCAKAPAN DAN STRUKTUR REFERENSI

Disusun oleh:

RIZQOTUS SA’DIYAH  (17188201034)

Dosen Pembimbing:
M.BAYU FIRMANSYAH, S.S, M.Pd

                           PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI)
PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan
Bab 8
Struktur percakapan dan struktur referensi
Analisis percakapan, ada banyak kiasan yang digunakan untuk menerangkan struktur percakapan. Bagi sebagian orang, percakapan itu bagaikan sebuah tarian, dengan pasangan bercakapnya yang mengordinasikan gerakan-gerakannya secara lembut. Bagi orang lain percakapan itu bagaikan arus lalu lintas di perempatan jalan, yang melibatkan bayak gerak-gerakan alternatif tanpa menimbulkan kecelakaan. Akan tetapi, pendekatan pendekatan analitik yang paling banyak di gunakan ialah berdasarkan pada suatu analogi dengan kinerja ekonomi pasar, bukan berdasarkan pada suatu tarian (karena tidak ada musik) dan juga tidak berdasarkan pada lalu lintas (karena tidak ada rambu-rambu jalan).
Jeda, overlaps, and backchannel, sebagian besar percakapan melibatkan 2 peserta atau lebih dalam pengambilan giliran, dan hanya satu orang yang berbicara pada saat itu. Pergantian yang halus dari satu penutur berikutnya tampaknya sangat dihargai. Pertukaran disertai dengan kesenyapan yang lama diantara dua giliran atau dengan adanya ‘overlap’ (yaitu kedua penutur mencoba berbicara pada saat yang sama) dirasakan kaku. Jika dua orang berusaha untuk bercakap-cakap dan tidak menemukan adanya alur/flow, atau ritme yang lembut pada pergantiaannya, ini berarti bahwa lebih banyak pesan yang dipahami dari pada yang dikatakan. Terhadap makna jarak, ketiadaan keakraban atau kemudahan.
Gaya bicara, banyak fitur yang memberikan karakteristik sistem pengambilan giliran bicara yang dimasukkan dalam makna oleh pemakaiannya. Bahkan dalam suatu komunitas penutur yang ditetapkan secara luas; sering terdapat variasi yang berpotensi (memungkinkan) menimbulkan kesalah pahaman. Misalnya, beberapa individu mengharapkan bahwa keikutsertaan dalam percakapan akan sangat aktif, sehingga rata-rata pembicaraan relatif cepat, hampir tanpa jedadiantara giliran bicara, dan disertai adanya sedikit overlap atau bahkan penyempurnaan giliran orang lain. Inilah salah satu dari gaya bicara. Gaya bicara ini disebut gaya bicara pelibatan tinggi. Gaya bicara ini secara substansial berbeda dengan gaya lainnya dimana penutur menggunakan rata-rata kecepatan yang lebih lambat, mengharapkan jeda yang lebih lama diantara giliran bicara, tidak tumpang tindih, dan menghindari interupsi atau penyempurnaan giliran orang lain. Gaya bicara tanpa interupsi, tanpa adanya pemaksaan ini disebut gaya solidaritas tinggi.

Kamis, 02 Mei 2019

Resume pragmatik

RESUME
PRAGMATIK




Tentang:
KESOPANAN DAN INTERAKSI

Disusun oleh:
RIZQOTUS SA’DIYAH  (17188201034)

Dosen Pembimbing:
M.BAYU FIRMANSYAH, S.S, M.Pd
                   

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI)
PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan
Bab 7
Kesopanan dan interaksi
Agar apa yang kita katakan dalam interaksi tersebut bermakna, mak kita harus memperhatikan berbagai macam faktor yang berkaitan dengan kesenjangan dan kedekatan sosial. Sebagian dari faktor-faktor ini terbentuk khusus melalui suatu interaksi selain karena faktor luar juga. Faktor-faktor ini khususnya melibatkan status relatif partisipan, berdasarkan pada nilai-nilai sosial yang mengikatnya, misalnya usia dan kekuasaan. Akan tetapi, banyak juga faktor-faktor lain, misalnya sejumlah imposisi atau derajat kekerabatan yang sering dipertimbangkan selama terjadi interaksi. Inilah faktor-faktor internal interaksi dan dapat mengakibatkan kesenjangan sosial sebelumnya dan dianggap sebagai kelebihan maupun kekurangan selama proses. Kedua tipe faktor ini yaitu, eksternal dan internal, memiliki pengaruh tidak hanya pada apa yang kita kata-katakan, tetapi juga bagaimana kita menginterpretasikannya. Dalam banyak kasus, interpretasi keluar jauh melebihi apa yang kita maksudkan untuk disampaikan dan milibatkan penilaian seperti ‘kasar’ dan ‘tidak tenggang rasa’, atau ‘tenggang rasa’ dan ‘penuh pengertian’.
Kesopanan, kesopanan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kasadaran tentang wajah orang lain. Dalam pengertian ini, kesopanan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk wajah orang lain ketika orang lain itu tampak jauh secara sosial seing dideskripsikan dalam kaitannya dengan keakraban, persahabatan, atau kesetiakawanan. Memang benar dalam tipe pendekatan ini akan ada jenis kesopanan yang berbeda yang diasosiasikan dengan asumsi jarak kedekatan sosial kekerabatan (dan ditengarai secara linguistik).
Keinginan wajah, partisipan yang terlibat dalam interaksi tidak tinggal dalam suatu konteks yang sudah menciptakan hubungan sosial yang pasti secara keras. Dalam interaksi sosial mereka sehari-hari, orang biasanya bertingkah laku seolah-olah harapan-harapan mereka berkenaan dengan nama baik masyarakat mereka sendiri, keinginan wajah mereka, akan dihormati. Jika seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung suatu ancaman terhadap harapan-harapan individu lain berkenaan dengan nama baiknya sendiri, pernyataan ini dideskripsikan sebagai tindak ancaman wajah. Kemungkinan lain, jika diberikan kemungkinan bahwa sebagai tindakan itu akan digambarkan sebagai ancaman terhadap wajah orang lain, penutur dapat mengatakan sesuatu untuk mengurangi kemungkinan ancaman itu. Tindakan ini disebut sebagai tindak penyelamatan wajah.
Wajah positif sesorang ialah kebutuhan untuk dapat diterima, jika mungkin disukai oleh orang lain, diperlukan sebagai anggota dari kelompok yang sama dan mengetahui bahwa keinginannya dimiliki bersama dengan yang lainnya. Wajah negatif seseorang ialah kebutuhan untuk merdeka, memiliki kebebasan bertindak, dan tidak tertekan orang lain.

Kamis, 25 April 2019

Resume Pragmatik



Resume pragmatik

Tentang : tindak tutur dan peristiwa tutur




Dosen pembimbing : M.bayu firmansyah S.S, M.Pd

Disusun oleh : RIZQOTUS SA'DIYAH
prodi : PBSI 2017 A
NIM : 17188201034

Pendidikan bahasa dan sastra indonesia
STKIP PGRI PASURUAN
Jl.Ki hajar dewantara No.27-29 pasuruan
Tahun 2019

Bab 6
Tindak tutur dan peristiwa tutur
Tindak tutur, pada suatu saat tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan mengandung 3 tindak yang saling berhubungan. Yang pertama adalah tindak lokusi, yang merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna. Jika anda menghadapi kesulitan mengenai pembentukan suara dan kata secara benar untuk menghasilkan subuah tuturan yang bermakna dalam suatu bahasa (misalnya dikarenakan bahasa itu masih asing bagi anda atau lidah anda seakan-akan lumpuh), boleh jadi anda gagal menghasilkan suatu tindak lokusi.
Alat penunjuk tekanan illokusi (APTI), alat yang paling jelas untuk menunjukkan tekanan illokusi (alat penunjuk tekanan illokusi atau APTI) ialah jenis ungkapan dimana terdapat suatu celah untuk sebuah kata kerja yang secara eksplisit menyebutkan tindakan illokusi yang sedang di tunjukkan. Kata kerja yang demikian ini dapat dikatakan sebagai kerja kata performatif (Vp).
Kondisi fesilitas, ada harapan tertentu atau yang diharapkan secara teknis disebut sebagai kondisi filisitas, karena tampilan suatu tindak tutur diketahui seperti yang dimaksud. Terhadap beberapa kasus yang sudah jelas, tampilan itu menjadi tidak tepat (tidak sesuai) jika penuturnya bukan orang dalam konteks yang khusus (ini sebuah kasus tentang seorang hakim diruang sidang pengadilan.
Hipotesa performatif, suatu cara untuk memikirkan tentang tindak tutur yang sedang ditampilkan melalui tuturan ialah berasumsi bahwa setiap tuturan pokok (U) tetdapat suatu klausa, sama dengan yang telah disajikan sebelumnya, yang mengandung kata kerja performatif (Vp) yang membuat tekanan illokusi menjadi jelas. Itulah yang disebut dengan hipotesa performatif dan format dasar dari klausa.
Klasifikasi tindak tutur, sistem klasifikasi umum mencantumkan 5 jenis fungsi umum yang ditunjukkan oleh tindak tutur; deklamasi, repsentatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Deklamasi ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkankan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keingingan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran. Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan dimasa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan, ikrar, dan dapat ditampilkan sendiri oleh penutur atau penutur sebagai anggota kelompok.

Kamis, 11 April 2019

Resume pragmatik

RESUME
PRAGMATIK

Tentang:
Praanggapan dan entailmen
Disusun oleh:

RIZQOTUS SA’DIYAH  (17188201034)

Dosen Pembimbing:
M.BAYU FIRMANSYAH, S.S, M.Pd

                           PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI)
PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan


Bab 4
Praanggapan dan entailmen
Pada pembahasan tentang referensi yang lalu, terdapat gagasan yang menarik bahwa penutur menganggap informasi tertentu sudah diketahui oleh pendengarnya karena informasi tertentu itu dianggap sudah diketahui , maka infirmasi yang demikian biasanya tidak akan dinyatakan dan akibatnya akan menjadi bagian dari apa yang disampaikan tetapi tidak dikatakan. Istilah-istilah presubposisi dan entailmen secara teknis dipakai untuk mendekruisikan dua aspek yang berbeda dari jenis informasi ini. Presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan.yang memiliki presubposisi adalah penutur, bukan kalimat. Entailmen adalah suatu yang secara logis ada atau mengikuti apa yang ditegaskan didalam tuturan. Yang memiliki entailmen adalah kalimat, bukan penutur.
Jenis-jenis presupposisi, dalam analisis tentang bagaiman asumsi-asumsi penutur diungkapkan secara khusus, presupposisi sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa dan struktur. Di sini kita akan menganggap bentuk-bentuk lingistik ini sebagai petunjuk-petunjuk presupposisi potensial, yang hanya akan menjadi presupposisi yang sebenarnya dalam konteks dengan penutur. Juga ada sejumlah bentuk lain yang mungkin paling baik dianggap sebagai sumber presupposisi leksikal. Pada umumnya, dalam presupposisi leksikal, pemakaian suatu bentuk dengan makna yang sinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan presupposisi bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami. Disamping presupposisi yang diasosiasikan dengan pemakaian kata-kata dan frasa-frasa tertentu, adapula presupposi struktural. Dalam hal ini, struktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai presupposisi secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Kita mungkin mengatakan bahwa penutur dapat memakai struktur-struktur yang sedemikian untuk memperlakukan informasi seperti yang diprasangkakan (karena, dianggap benar) dan dari sini kebenarannya diterima oleh pendengar.
Masalah proyeksi ada suatu harapan dasar bahwa presupposis kalimat sederhana akan berlangsung benar apa bila kalimat sederhana itu menjadi bagian dari kalimat yang lebih kompleks. Inilah salah satu versi gagasan umum bahwa arti dari keseluruhan kalimat itu merupakan gabungan dari arti bagian-bagian kalimat itu, akan tetapi, arti dari bagian presupposis ( sebagai ‘bagian-bagian’) tidak mampu menjadi arti dari beberapa kalimat kompleks (sebagai ‘ keseluruhan’). Hala ini dikenal sebagai masalah proyeksi.

Kamis, 04 April 2019

Resume pragmatik

RESUME
PRAGMATIK

Tentang:
Referensi dan inferensi
Disusun oleh:

RIZQOTUS SA’DIYAH  (17188201034)

Dosen Pembimbing:
M.BAYU FIRMANSYAH, S.S, M.Pd

                           PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI)
PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan

BAB 3
Referensi dan inferensi
Referensi dengan jelas terkait dengan tujuan penutur dan keyakinan penutur dalam pemakaian bahasa. Agar terjadi referensi yang sukses kita juga harus mengenali peran inferensi. Karena tidak ada hubungan langsung antara entitas-entitas dan kata-kata, tugas pendengar adalah menyimpulkan secara benar entitas mana yang dimaksudkan oleh penutur untuk dikenali dengan menggunakan suatu ungkapan pengacuan yang khusus. Tidaklah aneh bagi orang yang ingin mengacu kepada beberapa entitas atau orang tanpa mengetahui dengan pasti ‘sebutan’ apa yang akan menjadi kata terbaik untuk digunakan. Bahkan kita dapat menggunakan ungkapan-ungkapan samar berdasarkan kemampuan pendengar untuk menyimpulkan referen apa yang ada di dalam benak kita. Penutur bahkan menemukan nama-nama sebenarnya, tapi saya dapat menyimpulkan identitasnya ketika sekretaris menghubungkannya.
Pemakaian referensial dan pemkaian atribut if, pentinglah mengetahui bahwa tidak semua ungkapan acuan itu memiliki referen fisik yang dapat dikenali. Frasa nomina tidak tentu dapat dipakai untuk mengenali suatu entitas yang ada secara fisik, tetapi ungkapan-ungkapan itu juga dapat dipakai untuk menjelaskan entitas-entitas yang diasumsikan ada, tetapi tidak dikenal atau entitas-entitas sejauh yang kita ketahui.
Nama dan referen, versi reveren yang sedang disajikan di sini adalah referensi yang di dalamnya ada suatu ‘maksud dasar untuk mengenali’ dan suatu kerja sama ‘pengenalan tujuan’di lapangan. Proses ini tidak hanya membutuhkan kerja antara seorang penutur dan seorang pendengar; proses ini tampaknya berfungsi, dalah istilah kaidah,antara seluruh anggota masyarakat yang memiliki secara bersama-sama suatu bahasa dan budaya umum. Yaitu, ada suatau kaidah bahwa ungkapan-ungkapan pengacuan tertentu akan digunakan untuk mengenali entitas-entitas tertentu pada suatu landasan yang teratur.
Peranan ko-teks, suatu ko-teks adalah sekedar suatu bagian lingkungan linguistik di mana ungkapan pengacuan dipakai. Lingkungan fisik, atau konteks, mungkin lebih mudah dikenali karena memiliki pengaruh yang kuat tentang bagaimana ungkapan pengacuan itu harus diinterprestasikan.
Referensi anaforik, pembahasan yang terdahulu berkenaan dengan tindakan referensi tunggal. Akan tetapi sebagian besar dari percakapan dan penulisan kita, kita harus mengawasi / mencatat siapa atau apa yang sedang kita bicarakan lebih banyak dari satu kalimat pada suatu saat. Sesudah pengenalan awal dari beberapa entitas, penutur akan memakai ungkapan-ungkapan yang bervariasi untuk tetap menjaga referensi.

Kamis, 28 Maret 2019

Resume pragmatik

RESUME
PRAGMATIK

Tentang:
DEKSIS DAN JARAK
Disusun oleh:

RIZQOTUS SA’DIYAH  (17188201034)

Dosen Pembimbing:
M.BAYU FIRMANSYAH, S.S, M.Pd

                           PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI)
PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan

BAB 2
Dieksis dan jarak
Dieksis berarti 'penunjukan' melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan 'penunjukan' disebut ungkapan dieksis. Unkapan-ungkapan deiksis kadang-kala juga disebut indeksial. Ungkapan-ungkapan itu berada diantara bentuk-bentuk awal yang dituturkan oleh anak-anak yang masih kecil dan dapat digunakan untuk menunjuk orang dengan dieksis persona atau untuk menunjuk tempat denfan deiksis spasial atau untuk menunjuk waktu dengan dieksis temporal. Untuk menafsirkan dieksis-dieksis itu semua ungkapan bergantung pada pebafsiran penutur dan pendengar dalam konteks yang sama.
Deiksis persona dengan jelas menerapkan 3 pembagian dasar. Dalam beberapa bahasa kategori deiksis penutur, kategori deiksis lawan tutur dan kategori deiksis lainnya diuraikan panjang lebar dengan tanda status sosial kekerabatan. Ungkapan-ungkapan  yang menunjukkan status lebih tinggi dideskripsikan sebagai honorifics (bentuk yang dipergunakan untuk mengungkapkan penghormatan. Pembahasan tentang keadaan sekitar yang mengarah pada pemilihan salah satu bentuk ini dari pada bentuk lain kadang-kadang dideskripsikan sebagai deiksis sosial.
Deiksis tempat, konsep tentang jarak yang telah disebut berhubungan erat dengan dieksis tempat, yaitu tempat hubungan antara orang dan bendanya ditunjukkan.
Deksis waktu landasan psikologis dari deiksis waktu tampaknya sama dengan landasan psikologis deiksis tempat.kita dapat memperlukan kejadian-kejadian waktu sebagai objek yang bergerakke arah kita atau bergerak menjauh dari kita.
Deksis dan tata bahasa, perbedaan poko yang disajikan sejauh ini mengenai deiksis orang, tempat dan waktu, semuanya dapat dilihat pada pekerjaan dari salah satu perbedaan-perbedaan struktural yang paling umum yang di buat dalam tata bahasa inggris yaitu antara kalimat langsung dan tidak langsung.

Kamis, 21 Maret 2019

Resume pragmatik

RESUME
PRAGMATIK

Tentang:
BATASAN DAN LATARBELAKANG
Disusun oleh:

RIZQOTUS SA’DIYAH  (17188201034)

Dosen Pembimbing:
M.BAYU FIRMANSYAH, S.S, M.Pd

                           PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI)
PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan

BAB 1
BATASAN DAN LATARBELAKANG
Pragmarik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sehingga studi ini banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya. Selain itu pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan dari pada yang dituturkan. Pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.
Sintaks adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk kebahasan, bagaimana menyusun bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam suatu tatanan (urutan) dan tatanan mana yang tersusun dengan baik. Semantik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dengan entitas di dunia, yaitu bagaimana hubungan kata-kata dengan sesuatu secara harfiah. Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Diantara 3 (tiga) bagian perbedaan ini hanya pragmatik sajalah yang memungkinkan orang ke dalam suatu analisis.
Keteraturan. Untunglah bahwa orang cenderung bertingkah laku dengan cara-cara yang teratur ketika harus menggunakan bahasa. Sebagian dari keteraturan ini berasal dari kenyataan bahwa manusia adalah anggota kelompoksosial dan mengikuti pola-pola tingkah laku umum yang diharapkan dalam kelompok itu. Didalam suatu kelompok sosial yang akrab, biasanya kita akan mudah untuk melakukan berlaku sopan dan mengatakan sesuatu yang. Sebaliknya, didalam suasana lingkungan soaial baru yang belum akrab, kadang-kadang kita tidak yakin tentang apa yang dikatakan dan kita khawatir jangan-jangan kita mengatakan sesuatu yang salah.
Keranjang sampah pragmatik. Dalam jangka waktu yang panjang dalam studi bahasa, sudah ada keinginan kuat dalam sistem-sistem analisis yang formal, seringkali berasal dari matematika dan logika. Penekanannya ada pada penemuan beberapa prinsip abstrak yang bertumpuan pada intisari bahasa itu juga. Dengan menempatkan penemuan ciri- ciri bahasa yang abstrak, secara petensial universal, di atas tengah meja kerja mereka, para ahli bahasa dan filsafat bahasa cenderung untuk menyingkirkan catatan  apa saja yang mereka temukan tentang pemakaian bahasa setiap hari ketepian meja. Ketika meja-meja itu mulai penuh, banyak catatan-catatan tentang pemakaian bahasa umum itu mulai diturunkan dan berakhir di kranjang sampah. Keranjang sampah yang melimpah itu telah menjadi sumber sebagian besar dari apa yang didiskusikan pada halaman-halaman berikut. Baiklah diingatkan bahwa isi keranjang sampah itu semula tidak ditata di bawah kategori tunggal. Isi tersebut didefinisikan secara negatif, sebagai bahan yang tidak dengan mudah ditangani dalam sistem-sistem analisis resmi. Akibatnya, untuk memahami sebagian bahan yang akan kita ambil dari keranjang sampah itu, kita betul-betul harus melihat bagaimana bahan itu berada disana.